Setelah Dua Kali Mati Suri,
Wayang Palembang Hidup Lagi
* R Dalyono ‘Penyelamat’ Wayang Palembang
Setelah dua kali sempat ‘mati suri’ (setengah mati--Red), kini wayang kulit Palembang hidup lagi. Kehidupan wayang Palembang meski tidak sesempurna seperti yang dibawa para dalang terdahulu, namun wayang Palembang sudah bisa dikatakan ada wujudnya. Penjelmaan wayang Palembang yang kini menjadi lebih cantik, tidak sesederhana yang dibayangkan, karena upaya untuk hidup kembali harus melalui perjuangan panjang yang berliku menembus jantung dunia, yaitu lewat UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation.). Akhirnya wayang Palembang yang dulu dibuat langsung oleh Dalang terdahulu dalam bentuk wayang beber yang kasar, kini wayang Palembang sudah tampil lebih cantik.
-------------------------------------
‘Pertarungan’ antara hidup dan mati mempertahankan karya seni tradisional yang telah tercatat di dunia internasional sebagai karya seni budaya yang adiluhung itu, tak lepas peranserta R Dalyono. Pria yang kini usianya mencapai 60 tahun itu, merupakan anggota SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia). Tidak mudah menghidupkan wayang Palembang, karena harus melalui kerja keras. Selain para dalang asli wayang kulit Palembang sudah meninggal sebelum sempat mewariskan ke generasinya, wujud wayangnya sendiri telah banyak yang lapuk dimakan usia dan segala peralatan pengrawit juga sudah pada hilang. Maka wayang Palembang ini sempat ‘musnah’ bersamaan dengan meninggalnya para dalang terdahulu.
‘’Untuk mengumpulkan kembali wayang kulit Palembang yang masih tersisa, butuh waktu yang lama. Butuh kesabaran, karena pelaku seni, terutama dalang dan pengrawit, wayang kulit Palembang sudah meninggalkan seni tradisional itu sendiri.,’’ ujar R Dalyono kepada Sumatera Ekspres usai rapat pergelaran Wayang Kulit Palembang di Gedung Wanita Palembang, Rabu (14/5).
Pada 1976, kegiatan pergelaran wayang kulit Palembang masih ada, meski frekwensi pergelarannya sangat rendah. Sebulan belum tentu ada pergelaran. Baru pada 1978, wayang kulit Palembang berusaha untuk dihidupkan kembali seiring dengan digelarnya Pekan Wayang Indonesia ke tiga di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ki Agus Rosyid bin Abdul Roni, adalah dalang wayang Palembang yang kondang pada era 1960-an itu, selalu ikut kegiatan Pekan Wayang. Bahkan almarhum juga pernah mendalang di Istana Presiden tahun 1978.
Almarhum Ki Agus Rosyid adalah orang tua Ki Agus Rusdi Rosyid, salah satu dalang wayang kulit Palembang terakhir yang menguasai permainan wayang kulit Palembang dan meninggal pada tahun 2002.
‘’Almarhum Ki Agus Rusdi Rasyid disebut sebagai dalang terakhir karena menguasai permainan wayang kulit Palembang. Adapun dalang-dalang lain seperti Syekh Hanan dan Ki Agus Umar, juga sudah meninggal,’’ tutur Dalyono.
Sebenarnya masih ada dalang lain yang tersisa, yaitu Sukri Ahkab, yang pernah menjadi Kepala Stasiun RRI Palembang. Namun, Sukri sudah pindah dari Palembang beberapa tahun lalu ke pulau Jawa, kemudian pindah tugas lagi ke Bali. Untuk melanjutkan warisan leluhur itu, maka R Dalyono menunjuk Agus Wirawan, anak tertua Ki Agus Rusdi Rosyid, cucu Ki Agus Rosyid, sebagai ahli waris, sekaligus sebagai ‘penyelamat’ kesenian tradisional wayang kulit Palembang.
Upaya mengangkat Agus Wirawan sebagai dalang wayang kulit Palembang ini, tampaknya juga tidak mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama peralatan wayang yang sudah lapuk dan tidak mungkin lagi bisa dimainkan lagi. Maka R Dalyono mengajukan usul kepada pemerintah kota (pemkot) Palembang untuk menduplikat wayang Palembang yang telah rusak itu. Akhirnya pada tahun 1985 disetujui dan sebanyak 20 tokoh wayang berhasil di buat. Lagi-lagi wayang kulit Palembang mengalami nasib tragis, karena seluruh wayang hasil duplikat habis terbakar pada tahun 1986 atau setahun setelah wayang itu diduplikat. Penderitaan wayang kulit Palembang ini makin lengkap setelah beberapa alat-alat pengrawitnya juga kececeran entah ke mana. Ditambah lagi para pengrawitnya juga tidak jelas tinggal di mana.
Dalyono tidak putus asa untuk mewujudkan mimpinya menghidupkan wayang kulit Palembang yang tumbuh sejak pertengahan abad 19 Masehi itu. Pada Sarasehan Wayang Indonesia di Jogjakarta pada tahun 2000, Dalyono bertemu utusan dari UNESCO, badan dunia untuk urusan pendidikan dan kebudayaan, yaitu Karen Smith (wanita asal Australia yang menetap di Amerika) dan Yushi Simishu (pria asal Jepang yang menetap di Paris, markasnya UNESCO).
Menurut Dalyono, kebetulan sejak 1989 UNESCO memusatkan perhatian kepada perlindungan budaya tradisional. Di mana-mana disebarluaskan upaya pelestarian dan pengembangan budaya tradisional, juga termasuk adat istiadat dan kesenian di Indonesia. Pada tahun 1997 UNESCO sudah menyusun peraturan mengenai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya-karya Agung Lisan Tak Benda Warisan Manusia) dengan tujuan: meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap nilai warisan budaya. Mengevaluasi dan mendaftar situs dan warisan budaya. Membangkitkan semangat pemerintah negara supaya mengambil tindakan-tindakan hukum dan administrasi guna melestarikan warisan budaya dan lain-lain.
Setelah bekerja keras dalam jangka waktu yang cukup lama, maka semua persyaratan UNESCO tersebut dapat terpenuhi semuanya oleh SENAWANGI sebagai pengemban tugas ‘menjaga’ seni tradisional dan mempersiapkan 5 jenis wayag yang mewakili untuk diteliti yaitu: wayang kulit purwa Jawa dari Jawa Tengah, wayang parwa Bali dari Bali, wayang golek Sunda dari Jawa Barat, wayang Palembang dari Sumatera Selatan, dan wayang Banjar dari Kalimantan Selatan. Kemudian
Wayang Indonesia diproklamasikan oleh UNESCO sebagai karya agung budaya dunia pada tanggal 7 November 2003, di Paris Perancis.
Bersamaan dengan pengukuhan wayang sebagai budaya dunia, pada tahun 2004, Ki Agus Wirawan, putra pertama Ki Agus Rusdi Rosyid, langsung mendapat sumbangan dari UNESCO berupa seperangkat wayang kulit Palembang. Wayang kulit ini merupakan hasil duplikat wayang kulit Palembang asli yang berada di Museum Wayang Indonesia.
Kini masyarakat pecinta wayang kulit Palembang sudah bisa menikmati serunya Ki Wirawan membanyol dengan logat bahasa Palembangnya. Tentu saja masih banyak perbedaan yang dilakukan Ki Agus Wirawan dengan gaya bapaknya. Setidaknya Ki Agus Wirawan telah menemukan kembali ‘ruh’ wayang kulit Palembang di tengah-tengah masyarakat.
Dalyono dan Wirawan adalah seniman yang ingin menyelamatkan kesenian tradisi dari kepunahan. Dan merekalah yang telah menemukan kembali wayang kulit Palembang yang sudah 10 tahun menghilang. Jika tak ada perhatian dari pemerintah dan masyarakat Palembang, bisa dipastikan wayang kulit Palembang kembali ‘punah’. (t junaidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar