Kamis, 07 Agustus 2008

WAYANG KULIT PALEMBANG

Setelah Dua Kali Mati Suri,

Wayang Palembang Hidup Lagi


* R Dalyono ‘Penyelamat’ Wayang Palembang


Setelah dua kali sempat ‘mati suri’ (setengah mati--Red), kini wayang kulit Palembang hidup lagi. Kehidupan wayang Palembang meski tidak sesempurna seperti yang dibawa para dalang terdahulu, namun wayang Palembang sudah bisa dikatakan ada wujudnya. Penjelmaan wayang Palembang yang kini menjadi lebih cantik, tidak sesederhana yang dibayangkan, karena upaya untuk hidup kembali harus melalui perjuangan panjang yang berliku menembus jantung dunia, yaitu lewat UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation.). Akhirnya wayang Palembang yang dulu dibuat langsung oleh Dalang terdahulu dalam bentuk wayang beber yang kasar, kini wayang Palembang sudah tampil lebih cantik.

-------------------------------------

‘Pertarungan’ antara hidup dan mati mempertahankan karya seni tradisional yang telah tercatat di dunia internasional sebagai karya seni budaya yang adiluhung itu, tak lepas peranserta R Dalyono. Pria yang kini usianya mencapai 60 tahun itu, merupakan anggota SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia). Tidak mudah menghidupkan wayang Palembang, karena harus melalui kerja keras. Selain para dalang asli wayang kulit Palembang sudah meninggal sebelum sempat mewariskan ke generasinya, wujud wayangnya sendiri telah banyak yang lapuk dimakan usia dan segala peralatan pengrawit juga sudah pada hilang. Maka wayang Palembang ini sempat ‘musnah’ bersamaan dengan meninggalnya para dalang terdahulu.

‘’Untuk mengumpulkan kembali wayang kulit Palembang yang masih tersisa, butuh waktu yang lama. Butuh kesabaran, karena pelaku seni, terutama dalang dan pengrawit, wayang kulit Palembang sudah meninggalkan seni tradisional itu sendiri.,’’ ujar R Dalyono kepada Sumatera Ekspres usai rapat pergelaran Wayang Kulit Palembang di Gedung Wanita Palembang, Rabu (14/5).

Pada 1976, kegiatan pergelaran wayang kulit Palembang masih ada, meski frekwensi pergelarannya sangat rendah. Sebulan belum tentu ada pergelaran. Baru pada 1978, wayang kulit Palembang berusaha untuk dihidupkan kembali seiring dengan digelarnya Pekan Wayang Indonesia ke tiga di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ki Agus Rosyid bin Abdul Roni, adalah dalang wayang Palembang yang kondang pada era 1960-an itu, selalu ikut kegiatan Pekan Wayang. Bahkan almarhum juga pernah mendalang di Istana Presiden tahun 1978.

Almarhum Ki Agus Rosyid adalah orang tua Ki Agus Rusdi Rosyid, salah satu dalang wayang kulit Palembang terakhir yang menguasai permainan wayang kulit Palembang dan meninggal pada tahun 2002.

‘’Almarhum Ki Agus Rusdi Rasyid disebut sebagai dalang terakhir karena menguasai permainan wayang kulit Palembang. Adapun dalang-dalang lain seperti Syekh Hanan dan Ki Agus Umar, juga sudah meninggal,’’ tutur Dalyono.

Sebenarnya masih ada dalang lain yang tersisa, yaitu Sukri Ahkab, yang pernah menjadi Kepala Stasiun RRI Palembang. Namun, Sukri sudah pindah dari Palembang beberapa tahun lalu ke pulau Jawa, kemudian pindah tugas lagi ke Bali. Untuk melanjutkan warisan leluhur itu, maka R Dalyono menunjuk Agus Wirawan, anak tertua Ki Agus Rusdi Rosyid, cucu Ki Agus Rosyid, sebagai ahli waris, sekaligus sebagai ‘penyelamat’ kesenian tradisional wayang kulit Palembang.

Upaya mengangkat Agus Wirawan sebagai dalang wayang kulit Palembang ini, tampaknya juga tidak mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama peralatan wayang yang sudah lapuk dan tidak mungkin lagi bisa dimainkan lagi. Maka R Dalyono mengajukan usul kepada pemerintah kota (pemkot) Palembang untuk menduplikat wayang Palembang yang telah rusak itu. Akhirnya pada tahun 1985 disetujui dan sebanyak 20 tokoh wayang berhasil di buat. Lagi-lagi wayang kulit Palembang mengalami nasib tragis, karena seluruh wayang hasil duplikat habis terbakar pada tahun 1986 atau setahun setelah wayang itu diduplikat. Penderitaan wayang kulit Palembang ini makin lengkap setelah beberapa alat-alat pengrawitnya juga kececeran entah ke mana. Ditambah lagi para pengrawitnya juga tidak jelas tinggal di mana.

Dalyono tidak putus asa untuk mewujudkan mimpinya menghidupkan wayang kulit Palembang yang tumbuh sejak pertengahan abad 19 Masehi itu. Pada Sarasehan Wayang Indonesia di Jogjakarta pada tahun 2000, Dalyono bertemu utusan dari UNESCO, badan dunia untuk urusan pendidikan dan kebudayaan, yaitu Karen Smith (wanita asal Australia yang menetap di Amerika) dan Yushi Simishu (pria asal Jepang yang menetap di Paris, markasnya UNESCO).

Menurut Dalyono, kebetulan sejak 1989 UNESCO memusatkan perhatian kepada perlindungan budaya tradisional. Di mana-mana disebarluaskan upaya pelestarian dan pengembangan budaya tradisional, juga termasuk adat istiadat dan kesenian di Indonesia. Pada tahun 1997 UNESCO sudah menyusun peraturan mengenai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya-karya Agung Lisan Tak Benda Warisan Manusia) dengan tujuan: meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap nilai warisan budaya. Mengevaluasi dan mendaftar situs dan warisan budaya. Membangkitkan semangat pemerintah negara supaya mengambil tindakan-tindakan hukum dan administrasi guna melestarikan warisan budaya dan lain-lain.

Setelah bekerja keras dalam jangka waktu yang cukup lama, maka semua persyaratan UNESCO tersebut dapat terpenuhi semuanya oleh SENAWANGI sebagai pengemban tugas ‘menjaga’ seni tradisional dan mempersiapkan 5 jenis wayag yang mewakili untuk diteliti yaitu: wayang kulit purwa Jawa dari Jawa Tengah, wayang parwa Bali dari Bali, wayang golek Sunda dari Jawa Barat, wayang Palembang dari Sumatera Selatan, dan wayang Banjar dari Kalimantan Selatan. Kemudian
Wayang Indonesia diproklamasikan oleh UNESCO sebagai karya agung budaya dunia pada tanggal 7 November 2003, di Paris Perancis.

Bersamaan dengan pengukuhan wayang sebagai budaya dunia, pada tahun 2004, Ki Agus Wirawan, putra pertama Ki Agus Rusdi Rosyid, langsung mendapat sumbangan dari UNESCO berupa seperangkat wayang kulit Palembang. Wayang kulit ini merupakan hasil duplikat wayang kulit Palembang asli yang berada di Museum Wayang Indonesia.

Kini masyarakat pecinta wayang kulit Palembang sudah bisa menikmati serunya Ki Wirawan membanyol dengan logat bahasa Palembangnya. Tentu saja masih banyak perbedaan yang dilakukan Ki Agus Wirawan dengan gaya bapaknya. Setidaknya Ki Agus Wirawan telah menemukan kembali ‘ruh’ wayang kulit Palembang di tengah-tengah masyarakat.

Dalyono dan Wirawan adalah seniman yang ingin menyelamatkan kesenian tradisi dari kepunahan. Dan merekalah yang telah menemukan kembali wayang kulit Palembang yang sudah 10 tahun menghilang. Jika tak ada perhatian dari pemerintah dan masyarakat Palembang, bisa dipastikan wayang kulit Palembang kembali ‘punah’. (t junaidi)

DULMULUK

Faktor Ekonomi, Seni Tardisional

Dulmuluk Krisis Generasi



Teater tradisional Sumatera Selatan--Dulmuluk, terancam ‘punah’. Teater rakyat yang disela-sela dialog penting selalu menggunakan pantun bersahut itu, beberapa tahun belakangan jarang tampil di depan publik Palembang. Dulmuluk seperti telah kehilangan pemainnya seiring dengan kemajuan teknologi dan budaya pop ditengah masyarakat. Orang tak lagi menanggap Dulmuluk sebagai tontonan dalam rangka memeriahkan hajatan, misalnya khitanan, pernikahan atau cukuran bayi. Masyarakat lebih sering mengundang organ tunggal sebagai hiburan untuk memeriahkan acara tersebut. Jika kondisi ini terus berlarut-larut tanpa langkah pelestarian, seni teater tradisional yang lahir sejak awal abad 20 itu terancam punah.

----------------------------------

Muhsin Fajri, Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumatera Selatan (HTTS), mengatakan, pementasan Dulmuluk ini masih ada, namun tidak seperti era 60 dan 90-an, yang merupakan dua dekade kejayaan teater tradisional Dulmuluk. Pada era 60-an, boleh dikata seni teater Dulmuluk telah menemukan formasi pementasannya dengan menampilkan beberapa pemeran untuk memerankan tokoh-tokoh dalam cerita Dulmuluk. Sehingga masyarakat tak lagi sekedar mendengar sebuah cerita (pendongeng), yang mengisahkan cerita percintaan antara putri raja dan rakyat jelata. Teater Dulmuluk ini kalau di Jawa Tengah mirip Ketoprak atau kalau Jawa Timur Ludruk. Durasi permainannya bisa semalam suntuk seperti wayang kulit Jawa. Tapi bisa juga dipersingkat menjadi 2 jam saja.

‘’Pada era 90-an, Dulmuluk makin popular karena berhasil dikemas dalam layar kaca televisi, baik lokal maupun nasional. Tak hanya itu, Dulmuluk juga masuk program ekstrakulikuler di sekolah-sekolah. Maka pernah ngetop dengan munculnya beberapa grup teater Dulmuluk di sekolah-sekolah,’’ ujar Muhsin.

Masa kejayaan Dulmuluk yang terbilang cukup lama itu, benar-benar menjadi tontonan primadona masyarakat Sumsel. Hampir semua masyarakat di penjuru kota dan desa tahu tentang Dulmuluk. Bahkan wilayah penyebarannya sampai ke pulau Bangka (yang dulu masuk wilayah provinsi Sumsel).

Menurut Muhsin, munculnya Dulmuluk ini semula dimainkan saudagar Gujarat pada malam-malam sehabis berniaga. Konsep awalnya hanyalah sebuah dongeng atau pembacaan kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari, anak Sultan Abdul Hamid Syah yang bertakhta di Negeri Berbari. Kisah yang dicuplik dari buku Syair (Sultan) Abdul Muluk karangan penulis perempuan bernama Saleha itu ternyata menarik perhatian sebagian masyarakat Palembang.

Sejak itulah Wan Bakar kerap diundang untuk membacakan kisah-kisah tentang Abdul Muluk pada berbagai kesempatan, termasuk untuk memeriahkan acara perkawinan, khitanan, atau syukuran saat pertama mencukur rambut bayi. Sosok Wan Bakar ini kemudian sangat popular melisankan cerita dalam bahasa Melayu klasik atau pantun-pantun bertutur, misalnya perkataan raja kepada perdana menteri:

Wahai Perdana Menteri yang bijak bestari / Dengan sebenar saya berperi / Kau terangkan keadaan ini negeri / Supaya beta dapat mengetahui.

Lalu dijawab perdana menteri: Wahai tuanku raja yang bijak bestari / Dengan sebenar saya berperi / Tuanku menanyakan ini negeri / Negeri kita ramai setiap hari.

Seni bertutur ini akhirnya berkembang dengan menampilkan sejumlah pemain untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu, misalnya Raja, Perdana Menteri, Rakyat dan Khadam (tokoh banyol seperti goro-goro dalam wayang kulit). Pada tahun 1919, tercatat pertama kali pembacaan teks dibawakan dalam bentuk dialog disertai gerak tubuh sesuai peran masing-masing. Dulmuluk akhirnya berkembang pesat sebagai satu-satunya hiburan yang cukup menarik di kalangan masyarakat Sumstaera Selatan. Wajar bila akhirnya Dulmuluk ini ramai diikuti generasi penerusnya dan selalu dipadati penggemarnya.

Job manggung pada era 90-an benar-benar laris manis. Tak hanya diwilayah Palembang, tetapi juga di luar Palembang, bahkan Dulmuluk sempat tampil di televisi pusat (Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jogjakarta, dan Bali. Dengan semakin jayanya di tengah masyarakat, Dulmuluk sempat menjadi perdebatan antara seniman muda dan seniman tua mengenai eksistensi sebuah seni tradisional. Dulmuluk yang selama ini dikenal sebagai seni yang mengedepankan pakem Dulmuluk, kemudian diangkat dilayar kaca televisi dengan gaya kontemporer oleh Djaid Saidi Jaka, murid sastrawan kondang Rendra. Lakon yang diangkat dalam Dulmuluk biasanya istana centris Zahra Siti dan lain-lain. Namun oleh Djaid, Dulmuluk yang diangkat adalah Dulmuluk kontemporer dengan lakon Raja Bahlul, yang berarti goblok, tolol, gendeng atau sableng.

Jonhar Saat, seniman tradisional Dulmuluk, pada saat pertemuan Forum seniman Sriwijaya di Hotel Paradise Palembang, mengatakan, lesunya pementasan teater tradisional Dulmuluk karena banyak factor. Pertama pemain tua sudah banyak yang tidak mau mengurusi lagi karena factor ekonomi.

‘’Selama ini kita giat melatih generasi muda agar bisa melanjutkan kesenian ini. Tapi kadang kita nggak ingat kalau dirumah ada beras atau tidak. Ini karena kecintaan saya pada kesenian tradisional Dulmuluk. Saya setuju Dulmuluk dikontemporerkan agar bisa menembus selera muda,’’ ujar Jonhar.

Alasan Jonhar, 10 tahun ke depan, siapa yang mau nonton Dulmuluk. Konsep panggung harus dibangun lebih hidup. Bila memasukan unsure modern, itupun tidak merombak pakem yang ada. ‘’Kita maunya jangan terjebak warna lokal, tapi kita bisa memberikan sesuatu yang segar dengan unsure modern,’’ lanjut Jonhar.

Benar, kini Dulmuluk sudah sulit ditemui di setiap kesempatan, baik hajatan pernikahan maupun acara-acara tertentu. Bahkan di televisi lokal juga tak terlihat lagi ada program tayangan seni Dulmuluk. Kecuali acara pemerintah yang sepertinya ‘terpaksa’ menampilkan Dulmuluk agar tidak dibilang tak peduli. (t junaidi)

DALANG CILIK

Tri Susanto, Wakil Sumsel di Festival Dalang Bocah Nasional
Kuasai Dalang Sejak Usia 8 tahun

Prestasi gemilang dilakukan Jansen Robertus Tri Susanto, anak ketiga Yohanes Suparso dan Maria Mahdalena. Dia bakal tampil membawabendera Sumsel dalam ajang Festival Dalang Bocah Tingkat Nasional di Jakarta, 21-23 Juli mendatang. ADE ROSAD - Martapura


SEDERHANA dalam berpenampilan, ramah saat menyapa serta santun manakala berucap. Ciri inilah terlihat terlihat dari sosok anak desa yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Tri, sapaannya, tinggal di Desa Kuto Mulyo, Rt 01 Rw 01 Kecamatan Semendawai Timur, OKU Timur. Lokasi desanya dikelilingi hamparan sawah dan perkebunan karet atau sekitar 90 km dari Kota Martapura.
Tri yang berusia 13 tahun ini mampu memperagakan wayang selayaknya dalang mumpuni. Kepiawaiannya berdalang membuat dia dipercaya mewakili Sumsel dalam Festival Dalang Bocah tingkat Nasional di Jakarta 21-23 Juli mendatang. Tri yang merupakan satu-satunya utusan Sumsel ini bakal bersaing ketat bersama 32 dalang bocah se-Indonesia. Tak sulit untuk menemui bocah yang berperawakan tinggi dengan kulit hitam manis ini. Apalagi Tri tergolong anak yang pintar bergaul. Wartawan Koran ini kemarin sekitar pukul 09.15 WIB berhasil menemuinya di SMK Xaverius 1 Belitang.
“Bapak bisa ketemu saya langsung saat MOS, kepala sekolah pasti mengizinkannya,’’ ujarnya. Untuk diketahui, kemahiran memainkan wayang merupakan bakat turun menurun. Hanya saja, Tri sudah menguasai keterampilan ini sejak umur 8 tahun saat duduk di bangku kelas 2 SDN Kuto Mulyo. Kakeknya bernama Yusuf Guno Yoso juga merupakan dalang. ‘’Saya sendiri belajar memainkan wayang dari ayah Yohanes Suparso. Dari belajar inilah membuat saya mampu memiliki retorika penyampain yang lugas, padat dan jelas,’’ jelasnya.
Tri mengaku, sudah 40 kali ikut mendalang mendampingi ayahnya saat ada undangan atau hajatan di kawasan Belitang atau luar daerah. ‘’Kalau khusus saya sendiri, baru 3 kali tampil dengan durasi waktu antara 1,5 jam hingga 4 jam lebih,’’ papar Tri.
Dengan membiasakan diri ikut tampil, lanjutnya, memberikan manfaat besar hingga mampu memainkan lakon dalam setiap pertunjukan. “Selain ayah saya. Saya juga dibimbing Pak Katiman hingga sekarang”, tandasnya. Adik kandung Teresia Purwati dan Mekael Dwi Astuti ini mempunyai obsesi ingin menjadi pengusaha sukses.
‘’Karenanya saya sekolah di kejuruan, dengan harapan mampu berkiprah dalam dunia bisnis,’’ ujarnya. Soal keterampilannya memainkan wayang, dirinya mengatakan hal itu bisa dilakoni tanpa harus menyingkirkan cita-citanya.
‘’Saya ingin mengubah hidup untk bias lebih maju,’’ ujarnya. Dalam Festival Dalang Bocah tingkat Nasional, Tri Susanto bakal memainkan lakon Wahyu Mahkuto Romo yang artinya wahyu yang diberikan kepada Arjuna.
Pada ajang yang tergolong langka ini, peserta diharuskan menyampaikan lakon selama 1 jam. “Saya sempat stress juga, sebab lakon yang saya mainkan ini nanti setidaknya berkisar 6 jam. Tapi, panitia minta hanya 1 jam dengan penyampaian yang lengkap,’’ terangnya.
Untuk itulah, dirinya terus berlatih hingga 5 kali dengan Pak Sukiman yang akhirnya mampu mempersingkat waktu menjadi 1 jam sesuai permintaan panitia. Lakon yang nanti akan dimainkan, secara tidak langsung memberikan makna penting dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki seorang pemimpin. Dimana, pemimpin harus bisa mengayomi rakyatnya sebagaiman layaknya seorang Arjuna ketika itu. Dirinya rela mencari wahyu dan petunjuk demi untuk rakyatnya meski harus bertapa di gunung Kuto Runggu atau Solo Giri yang jauh dari keramaian.
Arinya cerita tersebut menggambarkan bahwa kejahatan itu tidak dapat mengalahkan kebaikan. Apapun cara yang akan dilakukannya. Meski dalam meraih kebaikan itu harus dihadapkan dalam berbagai ujian, dan wahyu mahkuto romo akan hadir pada diri orang yang sukses. “Kita sederhanakan saja kata wahyu itu menjadi sebuah kesuksesan yang diraih orang lain, untuk meraih sukses diperlukan perjuangan sebagaimana zaman Arjuna dalam mencari wahyu”, jelasnya. (*)