Kamis, 07 Agustus 2008

DULMULUK

Faktor Ekonomi, Seni Tardisional

Dulmuluk Krisis Generasi



Teater tradisional Sumatera Selatan--Dulmuluk, terancam ‘punah’. Teater rakyat yang disela-sela dialog penting selalu menggunakan pantun bersahut itu, beberapa tahun belakangan jarang tampil di depan publik Palembang. Dulmuluk seperti telah kehilangan pemainnya seiring dengan kemajuan teknologi dan budaya pop ditengah masyarakat. Orang tak lagi menanggap Dulmuluk sebagai tontonan dalam rangka memeriahkan hajatan, misalnya khitanan, pernikahan atau cukuran bayi. Masyarakat lebih sering mengundang organ tunggal sebagai hiburan untuk memeriahkan acara tersebut. Jika kondisi ini terus berlarut-larut tanpa langkah pelestarian, seni teater tradisional yang lahir sejak awal abad 20 itu terancam punah.

----------------------------------

Muhsin Fajri, Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumatera Selatan (HTTS), mengatakan, pementasan Dulmuluk ini masih ada, namun tidak seperti era 60 dan 90-an, yang merupakan dua dekade kejayaan teater tradisional Dulmuluk. Pada era 60-an, boleh dikata seni teater Dulmuluk telah menemukan formasi pementasannya dengan menampilkan beberapa pemeran untuk memerankan tokoh-tokoh dalam cerita Dulmuluk. Sehingga masyarakat tak lagi sekedar mendengar sebuah cerita (pendongeng), yang mengisahkan cerita percintaan antara putri raja dan rakyat jelata. Teater Dulmuluk ini kalau di Jawa Tengah mirip Ketoprak atau kalau Jawa Timur Ludruk. Durasi permainannya bisa semalam suntuk seperti wayang kulit Jawa. Tapi bisa juga dipersingkat menjadi 2 jam saja.

‘’Pada era 90-an, Dulmuluk makin popular karena berhasil dikemas dalam layar kaca televisi, baik lokal maupun nasional. Tak hanya itu, Dulmuluk juga masuk program ekstrakulikuler di sekolah-sekolah. Maka pernah ngetop dengan munculnya beberapa grup teater Dulmuluk di sekolah-sekolah,’’ ujar Muhsin.

Masa kejayaan Dulmuluk yang terbilang cukup lama itu, benar-benar menjadi tontonan primadona masyarakat Sumsel. Hampir semua masyarakat di penjuru kota dan desa tahu tentang Dulmuluk. Bahkan wilayah penyebarannya sampai ke pulau Bangka (yang dulu masuk wilayah provinsi Sumsel).

Menurut Muhsin, munculnya Dulmuluk ini semula dimainkan saudagar Gujarat pada malam-malam sehabis berniaga. Konsep awalnya hanyalah sebuah dongeng atau pembacaan kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari, anak Sultan Abdul Hamid Syah yang bertakhta di Negeri Berbari. Kisah yang dicuplik dari buku Syair (Sultan) Abdul Muluk karangan penulis perempuan bernama Saleha itu ternyata menarik perhatian sebagian masyarakat Palembang.

Sejak itulah Wan Bakar kerap diundang untuk membacakan kisah-kisah tentang Abdul Muluk pada berbagai kesempatan, termasuk untuk memeriahkan acara perkawinan, khitanan, atau syukuran saat pertama mencukur rambut bayi. Sosok Wan Bakar ini kemudian sangat popular melisankan cerita dalam bahasa Melayu klasik atau pantun-pantun bertutur, misalnya perkataan raja kepada perdana menteri:

Wahai Perdana Menteri yang bijak bestari / Dengan sebenar saya berperi / Kau terangkan keadaan ini negeri / Supaya beta dapat mengetahui.

Lalu dijawab perdana menteri: Wahai tuanku raja yang bijak bestari / Dengan sebenar saya berperi / Tuanku menanyakan ini negeri / Negeri kita ramai setiap hari.

Seni bertutur ini akhirnya berkembang dengan menampilkan sejumlah pemain untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu, misalnya Raja, Perdana Menteri, Rakyat dan Khadam (tokoh banyol seperti goro-goro dalam wayang kulit). Pada tahun 1919, tercatat pertama kali pembacaan teks dibawakan dalam bentuk dialog disertai gerak tubuh sesuai peran masing-masing. Dulmuluk akhirnya berkembang pesat sebagai satu-satunya hiburan yang cukup menarik di kalangan masyarakat Sumstaera Selatan. Wajar bila akhirnya Dulmuluk ini ramai diikuti generasi penerusnya dan selalu dipadati penggemarnya.

Job manggung pada era 90-an benar-benar laris manis. Tak hanya diwilayah Palembang, tetapi juga di luar Palembang, bahkan Dulmuluk sempat tampil di televisi pusat (Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jogjakarta, dan Bali. Dengan semakin jayanya di tengah masyarakat, Dulmuluk sempat menjadi perdebatan antara seniman muda dan seniman tua mengenai eksistensi sebuah seni tradisional. Dulmuluk yang selama ini dikenal sebagai seni yang mengedepankan pakem Dulmuluk, kemudian diangkat dilayar kaca televisi dengan gaya kontemporer oleh Djaid Saidi Jaka, murid sastrawan kondang Rendra. Lakon yang diangkat dalam Dulmuluk biasanya istana centris Zahra Siti dan lain-lain. Namun oleh Djaid, Dulmuluk yang diangkat adalah Dulmuluk kontemporer dengan lakon Raja Bahlul, yang berarti goblok, tolol, gendeng atau sableng.

Jonhar Saat, seniman tradisional Dulmuluk, pada saat pertemuan Forum seniman Sriwijaya di Hotel Paradise Palembang, mengatakan, lesunya pementasan teater tradisional Dulmuluk karena banyak factor. Pertama pemain tua sudah banyak yang tidak mau mengurusi lagi karena factor ekonomi.

‘’Selama ini kita giat melatih generasi muda agar bisa melanjutkan kesenian ini. Tapi kadang kita nggak ingat kalau dirumah ada beras atau tidak. Ini karena kecintaan saya pada kesenian tradisional Dulmuluk. Saya setuju Dulmuluk dikontemporerkan agar bisa menembus selera muda,’’ ujar Jonhar.

Alasan Jonhar, 10 tahun ke depan, siapa yang mau nonton Dulmuluk. Konsep panggung harus dibangun lebih hidup. Bila memasukan unsure modern, itupun tidak merombak pakem yang ada. ‘’Kita maunya jangan terjebak warna lokal, tapi kita bisa memberikan sesuatu yang segar dengan unsure modern,’’ lanjut Jonhar.

Benar, kini Dulmuluk sudah sulit ditemui di setiap kesempatan, baik hajatan pernikahan maupun acara-acara tertentu. Bahkan di televisi lokal juga tak terlihat lagi ada program tayangan seni Dulmuluk. Kecuali acara pemerintah yang sepertinya ‘terpaksa’ menampilkan Dulmuluk agar tidak dibilang tak peduli. (t junaidi)

Tidak ada komentar: