Minggu, 08 Maret 2009

Musikalisasi Puisi: Kebebasan Menafsir Kata dan Nada

Dimuat Harian Sumatera Ekspres Edisi Minggu 8 Maret 2009


Musikalisasi Puisi:

Kebebasan Menafsir Kata dan Nada


Oleh Suharno



Menyaksikan musikalisasi puisi “O Amuk Kapak” karya Sutardji Calzoum Bahri yang digelar Hipnotizz selama tiga hari, terhitung sejak Jumat (6/3) hingga hari ini (8/3), di Graha Budaya Jakabaring Palembang, sungguh menyejukkan hati. Pergelaran itu memang sarat dengan eksperimen musikalitasnya, di mana kata dan nada senantiasa ditonjolkan hingga mampu menembus ruang imajinasi penonton. Nuansa bunyi yang bersumber dari alat musik seperti recorder, gitar, biola, sapu lidi, hingga botol ternayat dapat disinergikan dengan kata-kata pada puisi. Sebelumnya, dua puisi pengantar karya Z.A. Narasinga dan Acep Zamzam Noor turut mengawali pembukaan musikalisasi puisi Sutardji Calzoum Bahri. Kendatipun demikian, jika dilihat dari kacamata awam, performing art yang diusung Muhammad Indra Aziz dkk itu menyerupai fragmen-fragmen, karena penanda antara satu puisi dengan puisi lain yang dibawakan belum begitu dipertegas. Sehingga, jurang kejenuhan bahkan kesulitan penonton untuk mengerti apa yang disampaikan para pelakon sangat lebar. Di sinilah letak eksperimen yang dilakukan kelompok Hipnotizz, yakni keberanian membebaskan imajinasi penonton untuk menerima pesan yang disuguhkan. Dengan kata lain, penonton dibiarkan kreatif dan “nakal” untuk menjelajahi nalar dan imajinasinya. Tidak hanya penonton yang sudah mengenal atau menganalisis puisi-puisi Sutardji yang dapat mengerti pertunjukan Hipnotizz, tapi penonton awam sekalipun dibiarkan memberikan pemahaman tersendiri tanpa harus membaca buku O Amuk Kapak sebelumnya. Diketahui, puisi Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal dengan kredo puisi dan unsur-unsur mantra tanpa disadari dapat dikembalikan ke akar tradisi. Kata-kata mantra dalam puisi Sutardji seringkali berupa nonsense yang dipergunakan untuk menimbulkan daya magis dalam puisinya. Akan tetapi, kata-kata mantra yang berdaya magis itu juga dapat digunakan untuk memanggil Tuhan seperti dalam sajaknya yang berjudul “Amuk”. Ia bisa lugas mempertanyakan hakikat Tuhan, seperti saat Sutardji mengalegorikan kondisi masyarakat ke dalam bentuk kucing yang kelaparan, atau menjadikan kucing sebagai simbolisasi pencarian Tuhan. Dalam puisi tersebut, kucing merupakan kiasan semangat manusia dahulu hingga sekarang dalam mencari Tuhan, meski tidak pernah tercapai tetapi ia terus mencari. Begitulah, untuk memanggil “Tuhan” digunakan kata-kata mantra yang berupa nonsense guna memengaruhi alam gaib hingga Kau (baca: Tuhan) datang pada si aku. Sementara sajak “Sepisaupi” dapat diartikan sebagai bentuk perenungan kepada Tuhan. “Sepisaupi” merupakan gabungan dari kata sepi, pisau, dan pikul yang digabung menjadi sepisaupi. Dalam arti, sepi itu seperti pisau yang mengiris dan dosa itu begitu beratnya bagai barang sepikul. Rasa dosa itu menimbulkan rasa duka dan sepi yang menusuk dan mengiris bagai pisau. Rasa dosa itu timbul dalam diri (si aku) karena tusukan pisau-Nya (baca: panggilan atas peringatan Tuhan kepada manusia seperti pisau yang menusuk). Sutardji Calzoum Bachri (1941) adalah penyair Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Awalnya, Sutardji Calzoum Bachri menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Pada 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia, yakni Kredo Puisi. Dalam hal ini Sutardji beranggapan bahwa kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Kata adalah pengertian itu sendiri dan bebas. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam puisi Sutardji membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta penjajahan gramatika. Hal itu untuk memberikan kebebasan dalam berkreativitas. Kredo Puisi Sutardji inilah yang dijadikan hipogram dalam konsep pemanggunan Hipnotizz. Tidak hanya kata-kata, tapi nada-nada dalam musikalisasi puisi karya Sutardji juga dapat ditafsirkan secara bebas oleh penonton. (*)

Penulis adalah guru SMP LTI IGM Palembang

Minggu, 04 Januari 2009

Kolaborasi Tiga Dalang di Palembang

Kolaborasi Tiga Dalang di Palembang

Mainkan Lakon: Wahyu Tirto Manik Mayo Mahadi



Ki Suparno ketika memulai pergelaran


Penampilan tiga dalang, yakni Ki Suparno Wonokromo, Ki Cahyo Wibisono dan Ki Yatin Hadi Karsono, memukau para penggemar wayang kulit di Palembang kemarin malam (3/1). Pergelaran ini dalam rangka ulang tahun pernikahan emas yang ke-53 tahun pasangan M Ngaspuri dan Sartini di Jl Boster KM 12 Palembang.

Tiga dalang yang memainkan lakon “Wahyu Tirto Manik Mayo Mahadi” dibuka dengan penampilan Ki Suparno Wonokromo, dilanjutkan penampilan Ki Cahyo Wibisono dan ditutup Ki Yatin Hadi Karsono.

Ki Yatin Hadi Karsono


Ringkasan lakon tersebut menceritakan tentang peperangan yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa dalam Perang Barata Yuda. Keraguan Prabu Duryudana atas perang Barata Yuda terkurangi oleh kedatangan Begawan Gora Dahono, karena bersedia membantu para Kurawa untuk menumpas para Pandawa yang pada saat itu sedang menjalani tapa brata (Semedi). Tetapi hal ini ditentang oleh Bisma dan Durna, s

ebab mereka berdua mempunyai maksud untuk menyatukan saudara yang telah lama berselisih.

Niat Begawan Gora Dahono tidak begitu mulus karena dihambat para putra-putra Pandawa yang telah mengerti maksud dan tujuan Prabu Duryudana.

Ki cahyo Wibisono


Di lain tempat para pandawa yang sedang bertapa juga mengalami kebimbangan, karena sang penasehat (Prabu Kresna) yang selama ini banyak sering para Pandawa hilang entah kemana.

Slamet


Sang Hyang Wenang tiba-tiba berada di depan Prabu Kresna, menyampaikan bahwa Sang Hyang Wenang akan memberikan anugerah kepada Puntadewa karena telah berhasil melaksanakan ajaran “Wita Radya” dengan perantara Prabu Kresna.

Tamu undangan penikmat wayang


“Dalam lakon tersebut mengajarkan kepada kita bagaimanapun kebaikan akan selalu menang melawan keburukan. Selain itu, persatuan yang ditunjukkan oleh Putra Pandawa dalam peperangan dan merebut kemenangan, maksudnya sebuah persoalan bila diselesaikan dengan bersatu maka hasil yang didapat akan berupa kebahagiaan,” ujar Ki Yatin mewakili dua dalang lainnya.

Tuan rumah M Ngaspuri bersama istri Sartini paling kiri


Ditempat yang sama Slamet Riyadi selaku besan dari pasangan M Ngaspuri dan Sartini mengungkapkan rasa bahagianya karena kedatangan dan kesediaan tiga dalang yang bersangkutan khususnya Ki Suparno Wonokromo dalam pagelaran wayang kulit yang dimaksud. “Kita awalnya tidak menyangka Pak Parno (Ki Suparno Wonokromo,red) dapat hadir. Karena beberapa hari sebelumnya beliau sedang berada di luar kota, jadi dengan kedatangan beliau menambah kebahagiaan kedua pasangan,” jelasnya. (mg23)

Suwandi, pemerhati wayang kulit diapit Ki Yatin Hadi Karsono dan Ki Cahyo Wibisono sebelum tampil