Musikalisasi Puisi:
Kebebasan Menafsir Kata dan Nada
Oleh Suharno
Menyaksikan musikalisasi puisi “O Amuk Kapak” karya Sutardji Calzoum Bahri yang digelar Hipnotizz selama tiga hari, terhitung sejak Jumat (6/3) hingga hari ini (8/3), di Graha Budaya Jakabaring Palembang, sungguh menyejukkan hati. Pergelaran itu memang sarat dengan eksperimen musikalitasnya, di mana kata dan nada senantiasa ditonjolkan hingga mampu menembus ruang imajinasi penonton. Nuansa bunyi yang bersumber dari alat musik seperti recorder, gitar, biola, sapu lidi, hingga botol ternayat dapat disinergikan dengan kata-kata pada puisi. Sebelumnya, dua puisi pengantar karya Z.A. Narasinga dan Acep Zamzam Noor turut mengawali pembukaan musikalisasi puisi Sutardji Calzoum Bahri. Kendatipun demikian, jika dilihat dari kacamata awam, performing art yang diusung Muhammad Indra Aziz dkk itu menyerupai fragmen-fragmen, karena penanda antara satu puisi dengan puisi lain yang dibawakan belum begitu dipertegas. Sehingga, jurang kejenuhan bahkan kesulitan penonton untuk mengerti apa yang disampaikan para pelakon sangat lebar. Di sinilah letak eksperimen yang dilakukan kelompok Hipnotizz, yakni keberanian membebaskan imajinasi penonton untuk menerima pesan yang disuguhkan. Dengan kata lain, penonton dibiarkan kreatif dan “nakal” untuk menjelajahi nalar dan imajinasinya. Tidak hanya penonton yang sudah mengenal atau menganalisis puisi-puisi Sutardji yang dapat mengerti pertunjukan Hipnotizz, tapi penonton awam sekalipun dibiarkan memberikan pemahaman tersendiri tanpa harus membaca buku O Amuk Kapak sebelumnya. Diketahui, puisi Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal dengan kredo puisi dan unsur-unsur mantra tanpa disadari dapat dikembalikan ke akar tradisi. Kata-kata mantra dalam puisi Sutardji seringkali berupa nonsense yang dipergunakan untuk menimbulkan daya magis dalam puisinya. Akan tetapi, kata-kata mantra yang berdaya magis itu juga dapat digunakan untuk memanggil Tuhan seperti dalam sajaknya yang berjudul “Amuk”. Ia bisa lugas mempertanyakan hakikat Tuhan, seperti saat Sutardji mengalegorikan kondisi masyarakat ke dalam bentuk kucing yang kelaparan, atau menjadikan kucing sebagai simbolisasi pencarian Tuhan. Dalam puisi tersebut, kucing merupakan kiasan semangat manusia dahulu hingga sekarang dalam mencari Tuhan, meski tidak pernah tercapai tetapi ia terus mencari. Begitulah, untuk memanggil “Tuhan” digunakan kata-kata mantra yang berupa nonsense guna memengaruhi alam gaib hingga Kau (baca: Tuhan) datang pada si aku. Sementara sajak “Sepisaupi” dapat diartikan sebagai bentuk perenungan kepada Tuhan. “Sepisaupi” merupakan gabungan dari kata sepi, pisau, dan pikul yang digabung menjadi sepisaupi. Dalam arti, sepi itu seperti pisau yang mengiris dan dosa itu begitu beratnya bagai barang sepikul. Rasa dosa itu menimbulkan rasa duka dan sepi yang menusuk dan mengiris bagai pisau. Rasa dosa itu timbul dalam diri (si aku) karena tusukan pisau-Nya (baca: panggilan atas peringatan Tuhan kepada manusia seperti pisau yang menusuk). Sutardji Calzoum Bachri (1941) adalah penyair Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Awalnya, Sutardji Calzoum Bachri menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Pada 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia, yakni Kredo Puisi. Dalam hal ini Sutardji beranggapan bahwa kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Kata adalah pengertian itu sendiri dan bebas. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam puisi Sutardji membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta penjajahan gramatika. Hal itu untuk memberikan kebebasan dalam berkreativitas. Kredo Puisi Sutardji inilah yang dijadikan hipogram dalam konsep pemanggunan Hipnotizz. Tidak hanya kata-kata, tapi nada-nada dalam musikalisasi puisi karya Sutardji juga dapat ditafsirkan secara bebas oleh penonton. (*)
Penulis adalah guru SMP LTI IGM Palembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar